Sendiri, Sepi, Berkontemplasi

“Kamu ini stress aja, hormonal”

Saya sudah memprediksi diagnosa dokter kali ini. Beberapa tahun lalu, saya pernah mengalami gejala yang sama.

Saya jadi berpikir, “Daripada beli obat, lebih baik beli tiket untuk liburan saja ya?”. Baiklah, saya sudah lama enggak pergi sendirian. Selanjutnya saya sudah nangkring di situs penjualan tiket online.

DSCF4015
Enggak stress, mungkin cuma kangen

Ingatan saya jadi melayang pada kali pertama saya mencoba solo travelling ke Jepang. Mulai dari alasan saya pergi, setiap stasiun kereta yang saya telusuri dengan wajah bingung campur resah karena takut nyasar. Tapi ada satu rangkuman perasaan girang yang meluap di sana. Seperti popcorn yang meletup-letup kalau kata Jeketifortieyt.

Sendiri

“Besok ke Jepang? Sama Siapa?”

Ibu saya bertanya dengan histeris yang sedikit tertahan. Saat itu adalah satu hari sebelum keberangkatan saya ke Jepang, dan saya belum juga mengemas barang-barang yang diperlukan. Packing memang menjadi hal yang paling enggak saya suka saat akan memulai perjalanan, saya akan menundanya hingga waktu yang memungkinkan. Selain packing, saya juga enggak terlalu suka saat harus minta izin ke ibu, karena perasaan khawatirnya yang berlebihan itu kadang bikin pusing, hehe. Ibu semakin histeris ketika tau bahwa saya pergi sendiri. “Nanti ketemu temen kok di sana..” saya coba menenangkan ibu dengan kebohongan, karena saya belum membuat janji apa-apa dengan teman yang tinggal di sana.

DSCF2027.JPG
Om bertopi juga sendirian

“Kok sendirian? Enggak takut? Enggak kesepian?”

Pertanyaan semacam itu akan timbul saat Kamu memutuskan pergi sendirian, sebelum maupun setelah keberangkatan. Pertanyaan ini bisa berlaku pada berbagai keperluan, seperti makan (makan di tempat), menonton film (bukan netflix and chill tapi di bioskop), menonton konser (bukan yang di youtube atau dvd konser), apalagi pergi menempuh perjalanan udara selama 7 jam ke negara yang bahasanya tak bisa Kamu mengerti. Pertimbangan saya saat itu simpel aja, teman yang ingin pergi bersama ternyata enggak bisa berangkat karena satu dan lain hal, dan saya enggak bisa menunda lagi keinginan untuk mengunjungi Jepang.

Entah mengapa ‘sendiri’ menjadi kata yang terdengar menyeramkan. Sendirian di Jepang nyatanya enggak se-menyeramkan itu kok. Jepang adalah negara yang sangat teratur (setidaknya saya sudah merasakannya sendiri di beberapa tempat yaitu Tokyo, Osaka, dan Kyoto dan Shirakawa Go). Berbekal beberapa cerita orang di internet, pedoman perjalanan dari teman, dan internet dan Google Maps, saya nekat pergi sendirian. Tentu modal tiket dan uang akomodasi juga sih ya.

Sepi

Sendirian di Jepang juga gak terlalu menyebalkan, setidaknya kalau dibandingkan dengan sendirian di kota ini (Jakarta-Bekasi). Enggak ada yang memandangimu dari atas sampai bawah melihat penampilanmu, atau goda-godain saat Kamu lewat gang sendirian. Ada yang bilang orang Jepang itu enggak pedulian, mungkin kurang tepat. Kayaknya mereka cuma enggak mau ikut campur aja, tapi saat Kamu mendekati mereka untuk bertanya atau minta bantuan, mereka akan membantu dengan ramah, meski dengan kemampuan Bahasa Inggris yang terbatas.

DSCF1956.JPG
Rame gini, enggak sepi

Sampai di Jepang saya memang sendirian. Tapi saya enggak pernah merasa benar-benar sendiri. Beberapa orang yang saya temui memberikan berbagai kesan, ada yang sekilas tapi membekas, ada juga yang jadi teman hingga sekarang. Beberapa orang itu antara lain:

1.Mas-mas Kasir Lawson

Saat hari pertama tiba, saya agak kesulitan menemukan homestay yang saya sewa melalui airbnb. Petunjuk jalan yang diberikan pemilik homestay agak membingungkan saat sudah memasuki kompleks perumahan. Internet ponsel saya belum aktif karena ada masalah. Malam itu hampir jam 9, saya sedikit ketakutan karena ini hari pertama di negeri orang. Lalu saya yang kebingungan menanyakan alamat pada seorang kasir Lawson. Dia enggak bisa Bahasa Inggris, cuma mengangguk-angguk saja. Tapi dia membuka google maps di ponselnya, lalu menemani ke ujung jalan untuk mengantarkan saya ke arah yang benar. Saya mengucap “Arigatou” berkali-kali, hampir saja saya cium tangannya.

2. Motoki dan Kawan-Kawan

Homestay saya di Tokyo adalah sebuah rumah dengan bangunan bergaya tradisional Jepang. Rumah ini ditinggali oleh Motoki dengan adiknya Kaito, dan 2 orang teman mereka. Sisa kamar yang ada disewakan untuk solo traveller seperti Saya. Rumah Motoki masih memakai pintu geser ala Jepang. Saya menempati sebuah kamar beralaskan tatami, dengan kasur futon untuk tidur. Di malam yang ramai, Motoki dan kawan-kawan berkumpul dengan beberapa tamu yang ada di ruang keluarga. Ada yang bermain kartu, mengobrol, dan bermain gitar. Sebelum tidur kami nyanyi-nyanyi bareng beberapa lagu Oasis dan The Beatles, lalu saling bercerita mengenai daerah asal masing-masing.

3. Ari dari Chicago

Pada malam kedua di Tokyo, homestay kedatangan teman baru. Ari yang berasal dari Chicago ini menginap di kamar sebelah kamar saya. Keesokan harinya Ari mengajak saya pergi bersama ke Shibuya. Hari itu hujan turun sangat deras, sehingga Kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan berteduh dan mengobrol, serta tak lupa berfoto dengan patung Hachiko dengan keadaan basah kuyup. Ari juga baru pertama kali ke Jepang. Dia terlihat takjub melihat vending machine yang menjual rokok, di Amerika enggak ada katanya.

4. Dedek-dedek Job Training

Pagi sekali saya sudah di stasiun Tokyo hendak menuju Osaka. Stasiun Tokyo yang besar dan padat penuh dengan orang berlalu lalang dengan cepat. Saat tengah kebingungan, saya bertanya pada segerombolan pemuda- yang mengenakan kemeja putih dan celana hitam- mengenai platform kereta yang bisa membawa saya ke Osaka. Pemuda-pemuda itu dengan ramah mengajak saya jalan bersama mereka, karena mereka juga mau ke platform yang sama. Salah satu dari mereka bisa berbahasa Inggris, yang lainnya hanya mengangguk-angguk saja. Mereka adalah teman satu sekolah yang hendak menuju Kobe untuk job training di kapal. Saat berpisah, diucapin “have a nice trip” saja rasanya senang sekali.

5. Groovy Gang

Selama di Osaka, saya tinggal di guesthouse milik Wataru, seorang pria Jepang yang sangat menyukai musik. Guesthouse bernama Groovy ini memiliki satu kamar khusus pria, satu kamar khusus wanita, dan sebuah bar kecil yang dipenuhi koleksi-koleksi vintage. Saya berkenalan dengan beberapa turis yang hingga kini masih keep in touch. Saya akan bercerita mengenai tempat ini di posting-an terpisah.

5. Kakek Creepy di Osaka Castle

Seorang kakek aneh cukup membuat pengalaman pertama ke Osaka Castle menjadi sedikit traumatik. Semua dimulai ketika saya sedang mengabadikan kemegahan Osaka Castle sendirian. Kakek itu menyapa saya dengan ramah, dengan bahasa Inggris yang terbatas. Saya mengobrol beberapa hal dengannya. Saat ia tahu bahwa saya dari Indonesia, ia mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Indonesia. Perasaan saya mulai enggak nyaman ketika dia terus mengikuti ke mana saya pergi, terutama setelah dia meminta foto bersama, tapi diambil dengan kamera saya. “Buat apaan coba?” saya gusar di dalam hati, lalu bergegas pamit dengan pura-pura terburu-buru. Saat saya sudah berlari menjauh, ia sempat berteriak, “Sayonara Ira, Airabyuu…”. Saya berlari sambil berpikir, apa maksud perkataan dia. Setelah saya paham, saya berlari semakin kencang menuju stasiun terdekat.

6. Felix dan Turis Selow di Kyoto

Kyoto memang kota yang terasa lebih selow, daripada Tokyo dan Osaka. Mungkin karena itu pula saya bertemu banyak turis selow di sini, salah satunya bunk buddy saya, Felix. Saat saya datang, Felix sudah berada di hostel itu selama 4 hari, dari total 7 hari dalam rencananya. Turis asal amerika ini menyambut kedatangan saya dengan senyum ramah, lalu dengan sangat random dia memberikan sepasang kaos kaki yang dibelinya di Daiso. Menurut Felix musim gugur di Jepang enggak sedingin perkiraannya, jadi kaos kaki itu enggak jadi dia pakai, lagipula bentuknya aneh. Ia megajak saya ikutan nobar serial Stranger Things di meeting room, bersama teman-temannya yang lain. Saya menolak karena ingin segera tidur, agar bisa mengeksplorasi Kyoto sejak pagi sekali.

Keesokan paginya, saya bangun kesiangan. Saya bergegas menyiapkan diri untuk mengejar kereta jam 10 pagi. Felix yang baru bangun menenggak setengah liter air mineral, lalu setengah bercanda ia berkata “Pagi amat sih, udah mau berangkat aja. Hehehe”. Saya cuma ketawa sambil ngeloyor pergi.

Berkontemplasi

dscf1915.jpg
Mikirin pulang lewat mana

Pergi sendirian menjadi saat yang tepat untuk berkontemplasi. Saya jadi punya banyak waktu untuk bengong-bengong mikir, nulis, dapat ide, bengong lagi, ketawa-ketawa sendiri, sedih sendiri. Perjalanan pertama saya sendirian menjadi sebuah pengalaman yang sangat saya nikmati. Entah itu saat nyender di jedela kereta, melihat Osaka di ketinggian ferris wheel, sarapan onigiri di taman kota, atau bahkan menikmati toilet Jepang yang nyaman banget untuk buang air besar.

Baiklah, yuk beli tiket lagi.

5 thoughts on “Sendiri, Sepi, Berkontemplasi

Add yours

  1. seandainya ada banner promo tiket online ke Jepang setelah artikel ini mungkin conversion ratenya akan tinggi.

    sebenarnya saya pun suka dan tidak masalah di-judge ketika pergi atau beraktivitas sendirian. tapi memang dalam beberapa hal suka kurang nyaman, tapi kalau dipikir mungkin ini cara Tuhan untuk menyadarkan saya kembali akan nikmat lain bernama berdampingan.

    Liked by 1 person

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑